Oleh R. Lasmi Teja Raspati
Sebuah deret bangunan berdiri megah. Terlihat gagah ditemani oleh dua buah ‘patung selamat datang’ yang tegap saling berhadap. Tembok putih berbentuk kerucut yang terbagi empat sisi itu memantulkan sorot lampu malam yang sengaja ditata agar menghasilkan suatu sudut pandang yang tampak istimewa di tengah bangunan-bangunan lain. Tampak dingin dan tak ingin disapa Taman yang tertata rapi tampak jelas dari seberang jalan, cukup menandakan bahwa wilayah tersebut merupakan tempat yang tidak boleh sembarangan dimasuki orang. Suasana yang dihadirkan bangunan tersebut begitu tenang, serba teratur, dan terkesan kaku, seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Tidak seperti sore tadi, beberapa orang dengan seragam berwarna cokelat safari mondar-mandir keluar dari gerbang bangunan tersebut. Berpencar lalu kembali lagi seperti menunggu aba-aba. Tanda itu begitu jelas terpampang, sebuah nama yang sudah tidak asing lagi bagi dunia pendidikan di tanah air. Bukan hanya karena sistem pendidikannya yang disiplin dan terkenal keras. Bukan juga karena dari bangunan inilah dilahirkan para calon petinggi negeri, tapi karena berbagai kontroversi yang tersimpan didalamnya, menyatu, terkemas hingga menghadirkan sebuah image baru.
Ya, siapa tak kenal Institut Pemerintahan Dalam Negeri, salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, yang bertujuan mempersiapkan kader pemerintah, baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat. Berawal dari didirikannya Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) tahun 1956 di Malang, Jawa Timur, akhirnya didirikan pula APDN di berbagai provinsi di seluruh nusantara. Salah satunya adalah APDN yang bersifat nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Dalam proses perkembangan selanjutnya berdasarkan keputusan presiden tahun 1992, namanya pun diubah dari APDN menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri yang disingkat menjadi STPDN. Nama STPDN nampaknya tidak terlalu memberi keberuntungan bagi sekolah ini, setelah terjadi berbagai kasus dan tindak kekerasan yang mengakibatkan beberapa praja meninggal dunia, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri akhirnya memutuskan untuk meleburkan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Institut Ilmu Pemerintah (IIP) dalam wadah baru yang kini kita kenal dengan sebutan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Begitulah tanda huruf yang tertera di depan gerbang masuk wilayah pendidikan tersebut. Tersorot cahaya lampu malam, berlomba dengan sorot lampu-lampu mobil yang melintasinya. IPDN bisa jadi tampak angkuh berdiri di tengah perguruan-perguruan tinggi lainnya yang tersebar di kawasan pendidikan Jatinangor, tapi kita tak tahu kisah apa saja yang tersimpan dibalik bangunan megah tersebut saat lampu-lampu jalan mulai bekerja dan hampir seluruh penduduk Jatinangor, baik itu mahasiswa atau penduduk setempat, tengah beristirahat, santai, menikmati makan malam dengan teman atau keluarga. Selama ini IPDN selalu berkisah tentang kasus-kasus kekerasan atau tindakan-tindakan yang melanggar aturan dalam dunia pendidikan. Menceritakan tentang kesedihan dan kehilangan, pengkhianatan dan kekecewaan. Tapi, kita tak pernah tahu dan mungkin tak mau tahu tentang kisah seorang praja di malam hari yang jauh dari keluarganya, berjuang untuk sampai di Jatinangor, dan bersungguh untuk belajar hingga lulus sebagai Sarjana Sains Terapan Pemerintahan. Malam itu, Adhi (19), seorang praja semester dua yang sempat menunda cita-citanya untuk masuk IPDN pada tahun 2007 lalu akibat kebijakan Presiden yang tidak memperbolehkan penerimaan praja baru untuk tahun ajaran 2007, tengah duduk di depan barak menggunakan pakaian dinas lapangan. Adhi tidak sendiri, ia ditemani empat orang praja lainnya untuk menjaga barak tempat mereka tidur. Seusai mengikuti kegiatan ekskul pukul 18.00, Adhi lantas tidak mengikuti kegiatan praja selanjutnya di malam hari seperti praja-praja yang lainnya. Sejak pukul 18.00 itulah para praja kemudian melakukan kegiatan ritual seperti umumnya mahasiswa lain yang tidak berada di balik tembok IPDN. Mereka mandi, kemudian solat magrib, dan makan malam bersama di sebuah ruangan super besar bernama Menza yang mampu menampung lima ribu orang sekaligus. Menu yang disajikan pun tidak terlalu mewah, tahu dan tempe menjadi menu andalan setiap hari. Menu lainnya adalah sayur dan buah-buahan. Jangan salah, meski menu yang disajikan begitu sederhana, tapi cara makan mereka bisa dibilang istimewa. Betapa tidak, dalam waktu sekian menit makanan harus sudah habis tanpa mengeluarkan suara dari piring dan mulut, sepatah kata pun. Ilmu table manner dalam hal ini rupanya sangat diterapkan. Setelah acara makan malam selesai, kegiatan rutin lain telah menanti. Salah satunya apel, yang dari dulu hingga kini merupakan makanan sehari-hari bagi mereka. Sekitar pukul 20.30 kegiatan belajar-mengajar pun kembali berlangsung. Ya..benar, belajar! Di malam yang cukup larut itu mereka masih harus berkutat dengan buku-buku dan instruksi dari para pengajar dan senior mereka. Ada satu kegiatan unik setelah kegiatan belajar tersebut. Mereka biasa menyebutnya dengan istilah ‘SSB’ alias semir, seterika, dan Brasso. Dalam waktu limabelas menit, baik praja laki-laki maupun praja perempuan harus mampu menyemir sepatu hingga licin, menyeterika baju PDH (Pakaian Dinas Harian) hingga lipit dan mengoleskan cairan Brasso pada kepala ikat pinggang hingga kinclong. Semua kegiatan SSB ini tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan karena ada ketentuan khusus yang harus dipatuhi. Jika melanggar, hukumanlah ancamannya. PDH harus diseterika dengan menggunakan kertas agar lipatan pada beberapa bagian kain tampak jelas dan runcing. Dalam kamus IPDN tidak berlaku istilah begadang. Pukul 22.15 seluruh praja harus sudah tidur di baraknya masing-masing. Tapi, tidak bagi Adhi untuk kali ini. Malam Selasa (9/02) ini, mata Adhi harus terus terjaga hingga pukul 05.00 subuh. Kurang lebih selama sebelas jam itu, ia mendapat jatah untuk bertanggung jawab menjaga keamanan dan kebersihan barak. Saat menjaga barak, di tengah sepinya malam itulah Adhi mempunyai kesempatan untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga atau teman-temannya, meski sekadar lewat fasilitas layanan pesan pendek atau SMS di ponselnya. Adhi dan keempat praja lain harus sudah stand by di posko pengamanan sejak pukul 18.00. Tugas jaga ini berlaku secara bergantian, sehingga setiap praja laki-laki pasti akan mendapat jatah menjaga barak. Cara menentukan tugas giliran jaga ini pun cukup unik, yaitu dengan berdasarkan nomor urut tempat tidur di masing-masing barak. Alhasil tidak akan ada praja yang dapat lolos dari ritual meronda ini. Adhi dan keempat rekannya hanyalah kelompok kecil peronda di lingkungan kampus IPDN karena ada satu kelompok ronda besar lainnya yang bertugas menjaga serambi, yaitu kesatuan barak yang ada di kampus tersebut. Jumlah petugas ronda di serambi pun berbeda dengan barak, yaitu berjumlah tujuh orang. Mereka bertugas sejak pukul 22.00 hingga pukul 05.00. Sistem yang digunakan pun berbeda dengan sistem penjagaan barak. Kurang lebih selama tujuh jam ini, ketujuh praja pun bergiliran setiap satu jam sekali untuk menjaga serambi. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan dalam menjalani tugas ini, selain berkeliling dan membersihkan barak. Jika keadaan sekeliling sudah dirasa aman, barulah mereka bisa menghabiskan waktu jaga dengan sedikit santai sambil menunggu pagi. Tapi ingat, mereka dilarang keras untuk memejamkan mata. Jika terjadi sesuatu, mereka harus segera melapor pada bagian posko pusat IPDN.
Jika adzan subuh mulai berkumandang, itulah saat-saat paling membahagiakan bagi mereka untuk bersiap mengakhiri tugas jaga malam tersebut. Adhi dan keempat rekan prajanya diberi dispensasi waktu dari pukul 05.00 sampai 09.00 untuk beristirahat dan kemudian kembali melakukan aktivitas seperti biasa dengan seluruh praja lainnya. Mereka tidak hanya belajar dan beraktivitas di siang hari karena ternyata pada malam hari pun aktivitas mereka tidak ubahnya seperti siang hari. Berbagai tugas dan tanggung jawab pun selalu menanti mereka di saat orang-orang di luar lingkungan IPDN tengah tertidur lelap. Kita tidak pernah tahu atau mungkin tidak mau tahu mengenai aktivitas mereka karena selama ini mereka dibatasi oleh sekat tinggi dan ketatnya peraturan yang mengatasnamakan institusi pendidikan pemerintahan tertinggi di negeri ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Bagus sekali ka blog nya, bahasanya sangat menarik pembaca:)
izin kak, kakak purna ya?
Blog bagus..
Semoga tak ada lagi kekerasan fisik tanpa tujuan yg mendukung tugas setelah kembali ke masyarakat..
Kasihan putra2 terbaik jika harus rusak fisik dan mental jika tradisi kekerasan masih ada.
Posting Komentar