210110070381 Nia Agnes Sianturi

04.30 / Diposting oleh Jatinangor Malam Hari /

TH6/OJ/2009 Nia Agnes Sianturi
210110070381

Mancari Nafkah di Larut Malam
Cahaya lampu jalan dan rumah-rumah penduduk menerangi Jatinangor pada malam hari. Hawa juga semakin dingin dan lalu lalang orang juga hilang. Jatinangor menjadi sepi. Yang ada hanya segelintir pedagang makanan, warung internet (warnet), dan kendaraan yang melintas di jalan raya. Di tengah larut malam itu siapa sangka ada seorang ayah yang terus berjuang mempertahankan hidup keluarganya.
Angin malam menembus kulit Iri Suhairi, seorang lelaki berusia 49 tahun. Tidak mengenal larut, sosok ayah ini masih bertahan dengan gerobak kecilnya di gerbang Unpad, Jatinangor hingga pukul 03.00. Dengan sabar ia menunggu manakala ada pembeli yang datang ke arahnya. Memerhatikan langkah setiap pejalan kaki dan berharap mendekati gerobaknya kemudian berkata “Pak, bajigur satu”.
Badannya yang kurus tampak letih dengan kenyataan hidup yang dialaminya. Dari siang hingga larut malam ia harus duduk di belakang gerobaknya dan bergurau dengan teman-temannya dengan muka cemas. Ayah dari tiga orang anak ini berusaha mencukupi keluarganya dengan pendapatan Rp 30 ribu per hari.
Istri Suhairi yang bekerja sebagai pedagang lotek ternyata tidak banyak membantu perekonomian keluarganya. Pelanggan yang membeli lotek pun jarang. Akan tetapi, kenyataan ini tidak lantas membuat Suhairi dan istrinya menyerah pada keadaan. Mereka tetap berusaha walaupun hasil yang diperoleh tidak menentu setiap harinya.
Siapa sangka di balik senyum Suhairi ada ketidakpuasan yang sulit ia ungkapkan. Anak pertamanya menderita cacat sehingga tidak bisa berjalan selayaknya orang normal. “Jika sekolah, mungkin anak saya sekarang sudah tamat SMA,” ungkap Suhairi. Apa yang dapat dilaukan lagi karena cacat anaknya telah diketahui sejak bayi.
Suhairi menyatakan telah membawa anaknya berobat ke berbagai tempat. Mulai dari pengobatan secara medis maupun tradisional. Akan tetapi, semua usaha itu tidak memberikan hasil. Semuanya hanya menghabiskan dana.
Betapa malang nasib keluarga Suhairi. Ayah yang hanya menamatkan diri dari Sekolah Dasar (SD) ini harus berjuang mempertahankan hidup di tengah persaingan dengan orang lain. jika ditanya apakah uang yang ia peroleh cukup untuk menafkahi keluarganya, bibirnya akan terasa berat menyatakan cukup.
Tidak ada pekerjaan lain yang dapat ia lakukan. Sebelum jadi pedagang bajigur, ia pernah bekerja di pabrik pembuat aspal. Akan tetapi, ia harus berhenti dari pekerjaan itu karena pabrik tersebut bangkrut dan akhirnya tutup. Hal ini terjadi pada tahun 1982.
Ayah dari tiga anak ini kemudian berusaha mencari pekerjaan dan kemudian bekerja di pabrik minyat cat terpentin. Pabrik itu juga bangkrut dan ia harus menjadi pengangguran. Selama 5 tahun Suhairi tidak bekerja dan bergantung pada orangtuanya. Amat menyedihkan kehidupannya pada saat itu.
Sejak itu ia mencoba peruntungan menjadi pedagang bajigur. Tahun 1997 merupakan awal dimana ia berjalan sambil mendorong gerobaknya. Jika beruntung, ia akan mendapatkan uang yang banyak. Jika tidak, ia tetap pasrah dengan keadaan.
Keadaan Suhairi memang tidak jauh berbeda dengan pedagang lainnya. Misalnya, pedagang bubur di Jl. Raya Jatinangor yang buka hampir 24 jam. Mereka membuka warungnya sampai subuh demi menghidupi keluarganya. Begitulah Adi dan Yiran mengisahkan kehidupan mereka. Latar belakang pendidikan yang hanya lulus SD membuat mereka harus pasrah dan puas dengan hanya menjadi pedagang bubur.

0 komentar:

Posting Komentar