Satpam, Menjaga Jatinangor Waktu Malam

04.16 / Diposting oleh Jatinangor Malam Hari /


Jatinangor, sebuah kota kecamatan di perbatasan Bandung-Sumedang yang kini semakin dipenuhi kaum pendatang. Sebagian besar adalah mahasiswa dari empat perguruan tinggi ternama di Indonesia yang kos dan menjadi penghuni baru Jatinangor yang tadinya sepi. Sekarang kota kecil yang indah ini ramai sekali.

Malah kini Jatinangor seolah menjadi kota yang tak pernah mati. Dari mulai matahari terbit sampai malam hari, aktivitas penduduknya selalu menghidupkan kota di kaki Bukit Geulis dan Manglayang ini. Di pagi hari, ribuan mahasiswa bersiap-siap menuju kampus mereka. ada yang sedang sarapan, ada yang sedang asyik membaca koran pagi, ada yang berlari-lari mengejar keterlambatan, bahkan ada yang masih berolahraga.di hari Minggu, semua keramaian ini bukannya berkurang, malah semakin bertambah dengan kehadiran Paun atau Pasar Unpad yang selalu tampak sesak.

Semua kesibukan itu tak berhenti di situ saja. Siang hari, mahasiswa tampak menikmati makan siang ramai di gerbang masuk Unpad, yang dipenuhi tenda-tenda makanan. Menjelang sore, banyak yang memanfaatkannya sebagai waktu refreshing dan beristirahat dari kejenuhan kuliah dengan menjalankan hobi mereka. ada yang asyik bermain sepakbola, skater-board, taekwondo, dan sebagainya. Namun apa yang terjadi di Jatinangor malam hari?

Di saat semua orang bisa tidur nyenyak dan aman, ada sejumlah orang yang justru harus terjaga sepanjang malam. Ya, siapa lagi kalau bukan satpam. Para lelaki tegap yang bertanggung jawab akan stabilitas keamanan ini harus selalu bersiaga 24 jam, khususnya di waktu malam. Sadar atau tidak, kita sesungguhnya telah banyak berutang budi pada orang-orang ini. Kalau tak ada mereka yang selalu siaga, mungkin kita tak akan bisa tidur nyenyak. Di kos-kosan dan kampus sekitar Jatinangor, satpam memiliki fungsi dan peranan yang tidak bisa diremehkan. Secangkir kopi dan kepulan asap rokok menjadi kawan setia mereka setiap malam, untuk menghangatkan tubuh di tengah dinginnya udara Jatinangor yang menusuk tulang. Setiap tiga jam sekali mereka harus keluar, berpatroli, dan memastikan keamanan. Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di wilayah patroli mereka, tentu saja mereka menjadi orang pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban, atau jika kejadiannya parah, mungkin mereka bisa jadi korban.

Dalam banyak kasus kebakaran, perampokan, sampai ledakan yang terjadi di berbagai tempat, satpam banyak yang menjadi korban. Tentu saja, posisi mereka sangat strategis dengan lokasi kejadian. Seperti juga yang terjadi baru-baru ini, saat terjadi kebakaran besar di Depo Pertamina Plumpang. Tak ada korban tewas, kecuali seorang satpam yang malam itu sedang bertugas. Atau saat gedung Bank Tabungan Negara di kawasan Harmoni terbakar, kita melihat drama menegangkan antara seorang satpam yang panik dan terjebak di tengah kepulan asap di lantai 19 dan usaha penyelamatan para petugas pemadam kebakaran.

Namun sayangnya, tak semua orang menyadari keberadaan mereka. seringkali satpam hanya dianggap sebagai robot penjaga yang harus menjadi orang pertama yang bertanggung jawab bila terjadi suatu kehilangan. Di siang hari atau waktu-waltu biasa, jarang hanya sedikit orang yang menyapa dan mau berbicara lama dengannya. Mereka hanya datang dan meminta tanggung jawab ketika punya masalah keamanan. Setelah itu, tidak semuanya mau menyapanya dengan akrab dalam keseharian. Itulah perasaan yang diungkapkan Ahmad Junaidi atau yang biasa dipanggil Dedi (38), seorang satpam yang bertugas menjaga keamanan di wilayah kampus sampai asrama POMA. Saat ditemui di posnya yang sederhana (9/2) ayah satu anak ini menceritakan suka-dukanya selama menjadi satpam.

Dedi yang sudah sepuluh tahun menjadi satpam ini menyebutkan, sebagai seorang satpam yang dibebani tanggung jawab yang begitu besar, bayaran atau gaji yang ia terima tidaklah seberapa, hanya 400 ribu rupiah per bulannya. “Jumlah segitu mana cukup atuh Neng, tapi ya biarlah, kalau bukan Bapak siapa lagi yang mau jadi satpam dan menjaga kalian semua?” keluhnya pasrah.

Dedi dan satpam-satpam lainnya biasanya bekerja secara bergilir setiap tiga hari sekali. Mereka mulai stand by dari pagi hari, hingga pagi lagi. Untunglah mereka tidak bekerja sendirian, sehingga di tengah keheningan malam, setidaknya ada kawan yang bisa diajak bicara supaya tidak merasa kesepian dan akhirnya malah lengah dan mengantuk. Tapi menurut Dedi, toh ia dan kawan-kawan tidak semalaman suntuk bisa membuka mata. Biasanya setelah berpatroli dan memastikan keadaan aman semua, ia akan tidur selama tiga jam pada pukul satu pagi, dan terbangun untuk berjaga dan melakukan patroli lagi. Begitu seterusnya.

Karena wilayah penjagaannya juga termasuk asrama POMA Unpad, otomatis Dedi juga memegang peranan yang cukup besar dalam menjaga keamanan di asrama ini, khususnya asrama putri. Ia tak segan-segan mengusir laki-laki yang berani masuk ke dalam kamar. Bahkan pernah suatu hari Dedi memergoki dua orang muda-mudi yang sedang memadu kasih di dalam kamar pada pukul 2 malam. Saat itu juga ia langsung bertindak tegas, menelepon orang tua kedua mahasiswa tersebut dan mengusir putri mereka untuk tidak tinggal di asrama itu lagi. Keesokan harinya, mereka mengepak barang-barang dan terpaksa pindah kos-kosan karena ketegasan Dedi, meskipun ia baru tinggal di sana selama tiga bulan.

“Kalau ada anak yang nakal atau bertingkah macam-maca, saya tidak bisa tawar-tawar lagi, apalagi kalau anak perempuan, duh ngeri banget saya. Sebab kan saya juga punya istri, dan anak saya perempuan, jadi saya nggak mau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Biar ajalah mau dibilang kejam atau bagaimana, yang jelas kan itu juga untuk kebaikan dia, buat kita semua. Kalau ada apa-apa kan saya juga yang disalahin,” ujarnya. Dedi juga hanya membuka pintu-pintu asrama yang bisa dijangkau pengawasannya. Misalnya, pintu belakang tak pernah ia buka. Hal ini tentu saja untuk mengintensifkan pengawasan yang dilakukan.

Bila kebanyakan satpam yang bekerja di sini merupakan penduduk asli Jatinangor, tidak demikian halnya dengan Dedi. Ia justru orang asli Bandung yang ber-“transmigrasi” ke kampung Jatinangor. Ketika disinggung mengenai hal ini, Dedi tertawa. “Yang di Bandung itu kan orang tua saya, rumah mereka. Sekarang keduanya sudah meninggal dunia. Akhirnya saya “melarikan diri” ke sini. Saya dapat jodoh orang sini, jadi ya sudahlah sekalian saja beli rumah di Manglayang. Belum ada setahun saya tinggal di sana. Makanya jujur saja, saya belum hafal betul alamat rumah dan nomor telepon rumah saya.”

Beberapa waktu yang lalu, di asrama putri POMA pernah ada seorang mahasiswi yang kehilangan laptop dan handphone di kamarnya, di lantai dua. Hilangnya sewaktu malam hari, sekitar pukul 12 malam. Mahasiswi itu langsung melapor dan menyalahkan Dedi yang dinilainya tidak becus. Setelah diselidiki, ternyata si mahasiswi itu sedang main ke kamar temannya yang terletak di sebelah kamar. Sementara ia pergi meninggalkan kamar, jendelanya dibiarkan terbuka lebar, dengan alasan gerah. Ia pun tertidur di kamar temannya itu. Keesokan paginya, begitu ia memasuki kamar, laptop dan handphone-nya sudah lenyap. Ia langsung memanggil dan menyalahkan kinerja Pak Dedi, padahal jelas-jelas hal itu terjadi karena kecerobohan dia sendiri yang teramat sangat. Mungkin ia malu untuk mengakuinya di hadapan orang tua sendiri, maka ia pun menyalahkan Dedi yang kebetulan sedang jaga malam itu.

Ternyata Jatinangor memang kota yang tak pernah tidur. Walaupun sebagian besar warganya tertidur di tengah malam, tapi ternyata masih ada juga yang terbangun dan menjaga mereka yang tidur. Mereka memang hanya sekadar satpam, tapi justru merekalah yang paling dekat dengan kita, berada di sekitar kita. Karena itulah kita bisa memercayainya.

Satpam bukanlah robot penjaga gerbang. Ia adalah seorang manusia, yang punya mata, perut, dan punya perasaan. Maka sudah sepatutnya kita juga memperlakukan ia sebagai manusia. Satpam kita temui setiap hari, tetapi, berapa kali kita tersenyum ramah kepadanya? Berapa kali kita menyapanya? Berapa kali kita berterima kasih kepadanya? Satpam bukanlah oknum yang harus selalu kita salahkan bila ada suatu kejadian. Justru ialah seseorang yang pekerjaannya harus kita apresiasi. Karena dia, Jatinangor malam menjadi aman dan tentram.


Biodata Narasumber
Nama : Ahmad Junaidi
Panggilan : Dedi
TTL : Bandung, 15 Januari 1970
Alamat : Kampung Cipaku Cilayung, Manglayang
Nama Istri : Siti
Anak : 1 orang (usia 6 tahun)


Feature oleh Ken Andari - 210110070247

0 komentar:

Posting Komentar