MENANTANG MALAM DI JATINANGOR

04.12 / Diposting oleh Jatinangor Malam Hari /

Bila berjalan-jalan malam hari di sekitar Sayang, Jatinangor, kita akan menemukan banyak pedagang makanan berjejer di pinggir-pinggir jalan. Sebagian besar dari para pedagang itu tentu menjual makanan berat bagi para penduduk sekitar, khususnya mahasiswa, yang memilih untuk membeli makan di luar sehingga tidak perlu repot-repot memasak di kosannya. Di antara pedagang-pedagang makanan berat, ada pula para pedagang kudapan yang menyediakan sekedar camilan. Salah satu pedagang kudapan yang menjual produknya dengan harga yang cukup bersahabat bagi para mahasiswa adalah Wahyudi, bujang asal Jawa Tengah yang mencoba menantang hidup di Jatinangor ini, yang notabene merupakan area yang banyak dihuni mahasiswa, khususnya mahasiswa yang berdomisisli di sekitar Sayang, Jatinangor.
Wahyudi telah memulai usahanya ini sejak setahun lalu. Sebelumnya, pria yang berhasil lulus SMP ini telah beberapa kali berpindah-pindah tempat untuk bekerja. Selulusnya dari SMP, kondisi ekonomi keluarga memaksanya untuk membantu kedua orangtuanya bekerja serabutan di sekitar rumahnya. Ia pun harus puas dengan pendidikan yang hanya sampai SMP. Anak keempat dari sebelas bersaudara ini harus mengalah demi memberi kesempatan saudara-saudaranya untuk bisa bersekolah.
Tak lama kemudian, kedua orang tuanya mengajaknya hijrah ke Bandung dan kemudian membuka usaha warteg di sekitar Cijerah, Bandung. Di warteg itu ia hanya bertahan sekitar dua tahun karena ia diajak pamannya hijrah kembali ke Kerawang, kemudian ke Semarang, Cikarang, dan akhirnya persinggahan terakhirnya kini adalah Jatinangor, Sumedang. Di daerah-daerah tersebut, semua usaha yang dilakukan masih berada di sekitar dagang.
Jiwa pedagang memang mengalir deras pada pemuda kelahiran 1983 ini. Kedua orang tuanya pun merupakan pedagang yang meskipun kurang begitu sukses, tetapi setidaknya mampu menghidupi tiga belas jiwa yang ada di keluarganya dengan usaha sendiri bukan dengan bekerja pada orang lain.
Ilmu membuat kudapan berupa goreng-gorengan, ia dapat dari pamannya yang telah terlebih dahulu memulai usaha ini. Ketika di ajak berpindah-pindah oleh pamannya, ia telah memulai usahanya berjualan kudapan-kudapan berupa gorengan. Berbagai gorengan mencoba ditawarkan oleh Wahyudi. Beberapa diantaranya adalah bawan, tahu isi toge, molen, keroket, dan yang paling laris manis adalah gorengan tempenya yang selalu lebih dulu terjual habis. ”bikin ketagihan” kata Dewi salah seorang pembeli camilan tersebut.
Selain karena rasanya yang bersahabat dengan lidah, harga kudapannya juga cukup bersahabat dengan kantong mahasiswa. Sementara para pedagang lain telah mematok harga sekitar Rp 500 untuk tiap gorengan, Wahyudi berani mematok harga hanya Rp 400 untuk tiap biji produknya. Bahkan pasca kenaikan harga minyak tanah akhir tahun lalu, Wahyudi memilih untuk bertahan dengan harga Rp 1000 untuk tiga buah kudapan sementara yang lain telah mematok harga yang cukup tinggi. ”Saya kan baru mulai usaha ini, baru setahunan. Jadi harus mencari pelanggan dulu” ujarnya ketika ditanya tentang alasannya bertahan dengan harga di bawah standar.
Wahyudi memilih malam hari untuk berjualan. Menurutnya, waktu malam memang cukup tepat untuk dipakai berjualan karena pagi-paginya ia pakai untuk berbelanja ke pasar, dan sorenya ia pakai untuk mengolah bahan. Ia mengaku tidak memiliki alasan khusus untuk berjualan di malam hari. Dalam pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya ia memang terbiasa untuk berjualan di malam hari. ”Ya, sudah terbiasa saja di malam hari, jadi kalau dagannya di siang hari sepertinya, belum terbiasa saja” tuturnya.
Meskipun berjualan dari sekitar pukul 5 sore, Wahyudi tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berdiri menunggu pelanggan di pertigaan Sayang, Jatinangor. Ia biasanya berjualan di sana sampai sekitar pukul sebelas karena biasanya jam-jam itu dagangannya telah habis terjual.
Tidak terlalu banyak hal luar biasa yang ia rasakan dengan berjualan di malam hari. ”Mungkin karena saya memang tidak pernah berjualan di siang hari jadi tidak bisa membandingkan, kalau siang bagaimana, kalau malam bagaimana” katanya. ”kala masalah pelanggan sih sepertinya sama saja ya, mau siang mau malam pasti begitu-begitu saja, ada yang bawel, ada yang sabar, ada yang susah ditanya juga, ya begitu-begitu saja” lanjutnya.
Waktu malam adalah waktu-waktu strategis para mahasiswa biasanya membeli makanan. Apakah itu hanya untuk makan malam atau mencari camilan-camilan yang dapat dijadikan teman saat begadang mengerjakan tugas, nonton bareng teman, kumpul-kumpul bareng teman, atau menjadi pelengkap saat makan. Yang sengaja membeli gorengan untuk makan malam juga ada beberapa. ”Untuk menghemat ceritanya”, kata Tia salah seorang pelanggannya.
Wahyudi mengakui bahwa Jatinangor sengaja dipilihnya sebagai tempat untuk mengais rezeki karena memang gudangnya mahasiswa. Sebelumnya, di Jawa Tengah ia biasanya berjualan di daerah sekitar kampus. Ia punmerasa tidak salah dengan perkiraannya karena memang kebanyakan dari pelanggan-pelanggannya adalah mahasiswa.
Ia mengaku tidak ada cara khusus untuk mempromosikan dagangannya. Strategi mematok harga di bawah standarpun ia lakukan bukan hanya untuk promosi tetapi ia memang tidak terlalu fokus untuk mencapai untung yang sebanyak-banyaknya, tetapi dapat menjual sebanyak-banyaknya. ”Kalau untung ya, pasti untunglah meskipun dengan harga segitu. Tidak ada pedagang yang mau rugi” ujarnya. Ia pun hanya berusaha untuk membuat kudapan yang dapat dinikmati para pelanggannya. ”Sejauh ini yang paling laris, ya, gorengan tempe, jadi yang paling banyak dibuat, ya, gorengan tempe” katanya lagi. Tidak heran bila ia mengatakan seperti itu, terbukti ketika wawancara dilakukan pun ada sekitar tiga orang pelanggannya yang tidak jadi membeli karena gorengan tempenya sudah habis. Ada juga yang mengganti pilihannya menjadi kudapan lain seperti bawan, keroket, atau moleh.
Cukup lumayan juga penghasilan yang ia dapat dari berjualan kudapan di Sayang, Jatinangor ini. Semalamnya, kalau sedang sepi, ia hanya bisa meraih keuntungan sekitar empat puluh sampai enam puluh ribu. Tapi bila sedang ramai pembeli, keuntungan bisa mencapai lebih dari itu. Ia mengaku hasil jualannya itu sebagian ia tabung untuk simpanan masa depan, sebagian lagi ia kirim ke kampung halaman untuk sekedar membantu orang tuanya dan keempat adiknya yang masih bersekolah.
Wahyudi mengakui masih betah dengan usahanya yang seperti ini. Ia belum berpikiran jauh tentang usahanya ke depan. ”Yang penting jalani saja yang sekarang dijalani. Kalau dijalaninya baik, Insya Allah ke depannya juga baik” ungkapnya. Meski begitu, mimpi untuk merambah ke usaha yang lebih besar tentu ada, tetapi modal yang diperlukan sampai saat itu belum tersedia, akunya.
Di Jatinangor ini, ia benar-benar hidup sendiri. Di rumah kosnya yang ada di belakang masjid besar Sayang, ia biasa mempersiapkan segala sesuatunya sendiri, dari mulau belanja ke pasar, mengolah bahan hingga akhirnya berdiri berjam-jam di pertigaan Sayang untuk berjualan gorengan, ia lakukan sendiri.
”Selama setahun ini, saya baru pulang satu kali ke Jawa Tengah. Waktu lebaran kemarin” tuturnya.



Rachmi Nurhanifah
210110070372

0 komentar:

Posting Komentar