Malam adalah Pekerjaanku

04.02 / Diposting oleh Jatinangor Malam Hari /

Malam adalah Pekerjaanku
oleh Galih Setiono

Jatinangor merupakan sebuah kota moderen yang awalnya adalah kota persinggahan bis-bis dan truk-truk besar yang ingin ke Sumedang dan Cirebon. Sebelum masuknya universitas-universitas diantaranya Universitas Padjadjaran, Institut Pegawai Dalam Negeri (IPDN), Universitas Winaya Mukti, dan Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Jatinangor seperti ungkapan Jatinangor adalah “kota mati”. Namun, di sisi lain saat malam hari Jatinangor menjadi lahan mengait keuntungan bagi para pedagang.
Lelaki itu bertubuh kekar. Saat mendatanginya, ia sedang menggoyang-goyangkan tangannya dengan sebuah kipas dan terdapat di depan tubuhnya sebuah kipas kecil yang membuat jagung menjadi matang. Asep namanya, ia adalah seorang penjual jagung yang berjualan di depan atm mandiri, dekat sebuah swalayan kecil yang bernama Alfa mart. Lelaki berkulit hitam itu selalu tersenyum jika seseorang mendatanginya untuk membeli dagangannya.
Asep berasal dari Majalaya, Sumedang, Jawa Barat. Dengan bermodalkan nekat dan mempunyai modal yang cukup, ia mengadu nasib di Jatinangor untuk berdagang jagung bakar. Lelaki yang sangat kental dengan “logat Sunda” ini sebelumnya bekerja sebagai petani. Namun, karena sering terjadi “gagal panen” ia memutuskan untuk mencoba berdagang. Ia mulai berdagang pada jam7 malam. Setiap hari, pukul 6 sore ia menyiapkan jagung-jagung untuk dijualnya. Biasanya, lelaki yang memiliki rambut ikal ini sudah pulang bersiap-siap karena barang dagangannya sudah habis terjual. Jagung yang dibawanya sudah habis terjual pada pukul 11 malam. “Biasanya teh, saya sudah pulang ke rumah jam11 malam soalnya mah sebelum jam11 jagungnya sudah habis”, ujar Asep.
Asep mendapatkan jagung di sebuah pasar yang lumayang besar di kawasan Sumedang. Jagung yang dibeli, disimpan di dalam rumahnya lalu jika malam sudah menunjukkan batang hidungnya lelaki yang bersuara bas ini mengeluarkan gerobak dorongnya untuk berjualan. Jagung yang dijualnya tidak hanya berupa jagung bakar yang biasa dijual dipinggiran jalan, yang membedakannya adalah jagung diberi keju atau perasa pedas, asam, manis lalu diberi parutan keju di atasnya.
Lelaki paruh baya ini berjualan ditemani oleh seorang laki-laki yang beranjak dewasa. Saat ditanyakan siapa laki-laki itu, Asep menjawab “dia mah tetangga saya kebetulan tidak memiliki pekerjaan jadi saya mengajaknya untuk berjualan, berhubung saya kesulitan jika sendiri untuk membakar jagungnya jadi saya mengajak dia”, ucap Asep.
Asep memiliki seorang istri cantik. Lelaki yang tinggi berkisar 165 cm ini juga memiliki dua orang anak. Anak pertama duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga dan bungsu berumur tiga tahun. Istri yang ia nikahi belasan tahun silam ditinggalnya untuk berjualan. Istri dan kedua anaknya menempati rumah yang berada di kawasan Rancaekek. Lelaki yang terlihat paruh baya ini tidak tinggal bersama anak dan istrinya, ia tinggal bersama kedua kakaknya yang kebetulan kerja di Jatinangor. Jawaban atas ditanya mengapa ia tidak pulang pergi yaitu keterbatasan waktu. “Saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk pulang ke rumah istri dan anak saya tinggal. Kalaupun bisa kadang cuma hari Minggu, Senin sudah kembali ke Jatinangor”, tutur Asep.
Keuntungan yang didapat oleh Asep dalam sehari mencapai tiga ratus ribu rupiah. Pendapatan tersebut termasuk pendapatan kotor, belum termasuk biaya makan, membayar tagihan, dan lainnya walaupun ia bergabung tempat tinggal bersama kedua kakaknya namun tagihan tetap harus dibagi rata dalam membayarnya. “Keuntungan yang saya dapatkan dalam menjual jagung sekitar tigaratus ribu sehari, pendapatan kotor karena belum dipotong dengan tagihan-tagihan lain dan biaya makan”, sahut Asep.
Keuntungan yang didapatkannya termasuk dalam usaha lain yang dikerjakannya selain berjualan jagung baker yaitu sebagai jual-beli jagung. Pertama, jagung ia beli di sebuah perkebunan jagung daerah Sumedang lalu ia jual kembali ke kawasan Bogor. Lelaki yang memiliki kumis di mukanya ini mempunyai teman yang memesan jagung hanya dengan melalui “SMS”. Asep layaknya “agen” penjual jagung yang keuntungannya dibagi kepada pekerja yang menjadi bawahannya untuk mengirim beberapa karung jagung.
Dengan pendapatan yang diterimanya tersebut, Asep tidak pernah meminta dan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah. Pendapatan yang dihasilkan ia sudah mencukupinya. Menurutnya, buat apa “mempunyai tangan kanan jika tangan kiri bisa dipergunakan dengan baik. Lelaki pekerja keras ini tidak pernah menggantungkan kepada orang lain. “Lebih baik saya menjadi pengemis dari pada saya menyusahkan orang lain”, tegasnya.
Kejadian menarik pernah dialami oleh lelaki berklahiran 40 tahun yang lalu ini. Ia pernah berebut lahan dagang dengan orang lain. Lahan yang biasa dipakainya untuk berjualan ditempati oleh orang lain. Ia hanya pasrah menerimanya dan mencari lahan lain untuk berjualan. Tetapi ia tidak takut kepada siapa pun. “Saya teh tidak takut sama siapa-siapa, kalau ada orang yang mengajak saya ribut saya berani”, ujar Asep dengan nada percaya diri. Keuntungan pernah diraihnya saat ia berjualan di malam tahun baru. Ia mendapatkan sekitar satu juta rupiah, itu adalah keuntungan paling besar yang pernah ia dapatkan dari sebelum-sebelumnya.
Kesulitan pernah dialami oleh Asep. Ketika zaman berubah menjadi serba mahal dan naikknya harga barang terutama harga bahan jagung. Dengan bertambahnya harga bahan pokok yang dijual di pasaran, Asep mencari cara untuk tetap melanjutkan usahanya. Ia menurunkan kualitas jagung yang tidak terlalu manis dan menggantinya dengan jagung kualitas tinggi. Ia tidak mengandalkan naiknya harga penjualan jagung kepada masyarakat. Menurutnya, jika menaikkan harga penjualan di masyarakat sama saja dengan menghilangkan peminat pembeli jagung untuk membelinya. Namun, hal itu dapat ia atasi dengan baik.
Saat ditanya akan hal yang belum ia raih, Asep menjawab bahwa ia ingin menaikkan kedua orangtuanya. Impian Asep tersebut belum terwujud karena uang yang ia kumpulkan belum memenuhi batas jumlah haji. Terlepas dari semua itu, lelaki bermata sayu ini sudah merasa puas akan apa yang telah ia dapat dari sebelumnya.
Demikian dapat terlihat bahwa di dalam kota Jatinangor yang sekarang menjadi tempat mengadu nasib “para mahasiswa” terdapat seorang pedagang malam hari yang mempunyai ambisi besar dan pekerja keras. Terlepas dari pekerjaan apa yang ia lakukan dan dimana ia bekerja, yang terpenting adalah halalnya pekerjaan yang dilakukannya.

Label:

2 komentar:

Comment by Unknown on 18 April 2012 pukul 12.53

ini blog apa ka? siapa yang nulis semua kisah ini? bagus-bagus, dan rajin... makasiih

Comment by muhammad aldis indra on 11 Oktober 2012 pukul 09.47

bagus-bagus bro postingannya, teruskan supaya jatinangor bisa mendapatkan tempat di hati para dunia maya
nitip ya blog saya :)
http://jatinangoronthespot.blogspot.com/

Posting Komentar