Ketika Bulan Bersinar

04.01 / Diposting oleh Jatinangor Malam Hari /

Ketika Bulan Bersinar
oleh Florentina


Gang yang biasanya ramai penuh dengan orang berlalu lalang kini tampak sepi. Malam itu sedang purnama, bulan benderang, bulat sempurna menghias langit. Bintang-bintang pun berkelip, tampak harmonis mendampingi. Gang Sukawening yang biasa ramai dipenuhi orang yang berlalu lalang, tampak sepi. Tak heran, jarum jam sudah menunjukkan angka satu lewat tengah malam.
Allan menjejakkan kakinya, turun dari mobil angkutan kota yang disewanya bersama teman-teman PSM. Mobil itu membawa mereka dari Dipati Ukur, Bandung. Menjelang konser tahunan ini, Kang Arvin, pelatih PSM, menambah jam sesi latihan. Tim konser yang 80% terdiri dari anggota baru dinilainya belum cukup matang mempersiapkan konser yang akan digelar beberapa minggu lagi. Konsekuensi dari penambahan jam tersebut adalah semakin larutnya Allan menginjakkan kaki di kamar kostnya yang terletak di Gang Sukawening, Jatinangor.
Allan menghela nafas, dalam hati ia menyakinkan diri bahwa malam ini seperti malam-malam sebelumnya –takkan ada hal spesial terjadi.- Sempat terlintas di benaknya untuk mengambil jalan memutar menuju kamar kostnya sehingga ia tidak perlu bertamu terlebih dahulu. Namun, hari itu ia sudah kelelahan dan ingin segera beristirahat. Allan pun memutuskan untuk melewati jalan yang jaraknya lebih dekat untuk mencapai kostnya walau artinya ia harus ‘bertamu’ ke batu-batu nisan di lahan kuburan itu.
Ya, kamar kost yang disewa Allan memang murah meriah. Jika dibandingkan dengan kamar kostan yang terletak di dekat kampus Universitas Padjadjaran yang bisa mencapai 3juta dengan fasilitas yang sama, kamar itu dapat disewa dengan harga Rp 2juta pertahunnya.
Namun, harga murah itu ternyata juga disertai dengan bonus lain yakni pemandangan dari lahan kuburan yang terletak tepat di sisi bangunan kostan.Alhasil, setiap kali ingin pergi dan kembali ke kamar kostnya, Allan mau tak mau harus melewati lahan kuburan itu. Sebenarnya ada jalan lain yang dapat membawanya ke kamar kostnya itu tanpa melewati lahan kuburan tapi jalan itu jaraknya lebih panjang dan memutar.
Allan berjalan menyusuri Gang Sukawening. Tak mau ambil resiko melihat suatu hal yang tak diinginkan, ia memilih fokus pada jalan yang terdapat di depan mata, tanpa menoleh kanan ataupun kiri. Tanpa disadari pikirannya kembali melayang pada peristiwa mistik yang terjadi padanya pada awal masa kuliah.
Malam itu ia sedang tidur. Tengah malam ia terbangun karena terganggu dengan suara tangisan. Ketika ia melirik, jam menunjukkan pukul dua. Allan kembali mendengarkan. ‘Bayi siapakah gerangan yang menangis tiada henti ini?’ pikirnya. Setelah ditunggu selama 15 menit, tangisan itu tak hurung berhenti. Allan mulai bergidik, tangisan itu masih juga terdengar. ‘Ah,nggak mungkin kuntilanak,’ katanya dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri. Allan memutuskan untuk menutup telinganya dengan bantal dan kembali tidur.
Bulu kuduk Allan meremang mengingat peristiwa itu. Ia memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Pikirannya kembali melayang pada kenangan mistik yang lain. Malam itu ketika ia tidur, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang membebani dadanya. Ia mencoba menggerakkan badannya, tidak bisa. Seluruh badannya terkunci, Allan mencoba membuka matanya. Gagal, matanya juga terasa berat. Ia merasa sesak.
Ketika ia mencoba melepaskan diri, sekoyong-koyong ia merasakan kecupan di sekitar lehernya. Terdengar suara ‘cup,cup,cup.’ Allan merasakan ada sesuatu mengecupnya berulangkali- dari leher turun ke dadanya.- Ia mengucap doa dalam hati-bibirnya pun kaku-. Sesaat kemudian barulah ia dapat menggerakkan badannya normal kembali. ‘Apakah hal ini yang disebut orang sebagai tindiheun?,’ Allan berusaha berpikir. ‘Lalu, bagaimana dengan kecupan tadi?’ Allan berusaha cuek dan kembali tidur.
Selesai mengingat peristiwa “kecupan” Allan mejadi teringat akan peristiwa yang baru dialami beberapa hari yang lalu. Saat itu malam belum terlalu larut, sekitar jam 9. Seluruh penghuni lantai atas sedang pergi, hanya Allan sendiri di lantai itu. Tidak mempunyai tugas yang harus ia kerjakan, Allan bermain game yang terdapat di laptopnya. Ia sengaja membuka pintu kamarnya sedikit untuk pertukaran udara. Saat sedang asyik memandangi laptopnya, ia merasa ada yang mengintipnya dari balik pintu. Ketika ia menoleh untuk mengecek siapa yang mengintipnya, ternyata tidak ada siapapun.
Momen peek-a-boo ini berlangsung beberapakali, Allan berusaha tidak mengubris siapapun atau apapun yang mengganggunya bermain. Tiba-tiba terdengar suara keras,”KLONTAAANG!” ,sebuah barang terbuat dari besi terjatuh.
Kesabaran Allan mencapai batasnya. Ia pun berteriak nyaring,”WWOOIIII!!!!” Sesaat setelah teriakan itu, Allan melihat sosok berwarna putih terbang melesat menuju genteng rumah sebelah. Allan tidak tahu apakah sosok putih itu, ia tidak mau tahu. Yang ia lakukan hanya menutup pintu dan menganggap bahwa ia tak melihat apapun.
Allan berusaha mengusir kenangan mistisnya selama di Jatinangor, ia tidak mau menakuti dirinya sendiri sebelum ia melewati kompleks kuburan itu Allan masih memfokuskan matanya.Tiba-tiba ia melihat beberapa meter di depannya sosok bapak-bapak. Berharap bahwa kali ini ia tidak harus sendiri melewati kompleks perguruan, Allan berlari, berusaha mengejar bapak itu.
Sebuah belokan, Allan yakin dapat mengejar si bapak setelah belokan itu.Namun, begitu ia mencapai belokan, terkejutlah ia. Sosok si bapak tadi sudah tak terlihat. Entah ia telah memasuki sebuah rumah atau entah ia memang sedari awal tidak pernah ada. Allan terkesiap, ia menengok ke kanan dan kiri sejenak, mencari sosok yang ia harapkan dapat mengurangi rasa takutnya melewati lagan kuburan.
Nihil, suasana masih tetap hening dan tak tampak tanda apapun. Ia yakin bahwa jarak waktu saat ia kehilangan sosok si bapak di bekolan dan waktu ia mencapai belokan tidaklah terlalu lama. Bulu kuduk Allan kembali meremang.
Setelah semua pengalaman mistik yang dialaminya, ia berusaha meyakinnkan diri bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah sosok manusia yang sekarang sudah nyaman bernaung di sebuah rumah. Sambil mengeset pikirannya ke arah logis-pada kondisinya saat itu, hal ini sulit dilakukan, Allan memutuskan untuk berlari sekencang-kencangnya menuju kamar kostnya.

***
Jatinangor, sebuah kecamatan yang berubah menjadi sebuah ‘kota’ pendidikan. Empat buha perguruan tinggi bercokol di sini, Ikopin, Universitas Winaya Mukti, Universitas Padjadjaran, dan yang fenomenal, IPDN. Para mahasiswa yang telah cukup lama menetap di Jatinangor sudah tak asing lagi dengan kisah mistik seperti yang dialami Allan, mahasiswa Jurusan Mankom, Universitas Padjadjaran. Walau belum tentu semua orang ‘beruntung’ mengalami hal seperti yang dialami Allan, setidaknya mereka pasti sudah pernah mendengar salah satu kisah mistik yang terjadi di Jatinangor.
Pada awalnya Jatinangor adalah sebuah kecamatan yang sepi. Begitu empat universitas hadir, pembangunan demi pembangunan pun dilakukan. Di tengah kemajuan pembangunan, kisah-kisah mistik tentang Jatinangor tidak lenyap begitu saja. Fenomena yang terjadi adalah kisah mistik ini malah menyertai setiap pembangunan yang ada.

Label:

0 komentar:

Posting Komentar